Jumat, 11 Juli 2008

DARAH RHESUS

GOLONGAN DARAH ANDA LANGKA?

Golongan darah identik dengan sistem A-B-O. Jarang terdengar ada sistem golongan darah rhesus positif atau negatif. Padahal kedua sistem itu sama penting dan perlu diketahui. Terlebih bagi Anda yang berhesus negatif, karena termasuk langka. Percayalah, ini bukan kelainan bawaan, tetapi bisa merepotkan.

Penulis: M. Sholekhudin

Manusia langka
Di dunia, pemilik darah rhesus negatif menjadi golongan minoritas. Menurut catatan American Association of Blood Bank, sebagian besar orang di dunia memiliki rhesus di dalam darahnya. Hanya sebagian kecil yang tidak.

Persentase jumlah pemilik darah rhesus negatif berbeda-beda antarkelompok ras. Pada ras bule (seperti warga Eropa, Amerika, dan Australia), jumlah pemilik darah rhesus negatif sekitar 15 - 18%. Sedangkan pada ras Asia, persentasenya jauh lebih kecil.

"Di Indonesia, jumlah pemilik darah rhesus negatif hanya sekitar setengah persen," kata Yuyun. Dari seribu orang, hanya sekitar lima orang berdarah rhesus negatif. Namun, jangan salah sangka, darah rhesus negatif bukan sebuah kelainan atau penyakit bawaan. Itu seperti halnya orang bertangan kidal (left handed). Perbedaan ini semata-mata masalah genetik, bukan karena salah bunda mengandung.

Karena persentasenya sangat kecil, jumlah pendonor pun amat langka. Lebih-lebih yang miliki golongan darah AB rhesus negatif. Ini golongan darah paling langka. Di bank darah PMI, stok darah rhesus negatif biasanya hanya satu kantung untuk masing-masing golongan darah A-B-O. Selain karena jumlah pendonor langka, permintaannya pun memang sangat jarang.

Untuk mengantisipasi jika ada kebutuhan sewaktu-waktu, PMI menerapkan sistem donor panggilan. Sebagai bank data, PMI mencatat identitas lengkap mereka yang diketahui berhesus negatif. Jika ada permintaan darah rhesus negatif, PMI akan menghubungi mereka agar mendonorkan darahnya.

Mungkin karena dipersatukan oleh nasib sebagai sesama warga minoritas, mereka biasanya tak sulit dimintai bantuan. Jika si pendonor tidak bisa datang ke PMI karena kesibukan kerja, umpamanya, maka pihak PMI akan mendatanginya. Tak bisa siang, malam pun jadi. Solidaritas mereka betul-betul layak dicontoh.

Meski begitu, di saat-saat tertentu PMI kadang tetap tidak bisa memenuhi permintaan darah rhesus negatif. Yuyun memberi contoh, PMI DKI Jakarta kadang harus minta bantuan PMI daerah lain, misalnya Bali, karena di sana banyak warga asing. Jika cara ini pun tidak berhasil, PMI Pusat kadang sampai harus minta bantuan palang merah negara lain, semisal Singapura, Australia, atau Belanda.

Walhasil, solidaritas kaum rhesus negatif tak hanya dalam satu kota atau antarkota, tapi juga lintas negara. Bank data pemilik darah rhesus negatif biasanya tercatat di PMI tingkat daerah (provinsi) atau PMI tingkat cabang (kabupaten atau kota). Tentu saja tidak semua pemilik darah rhesus negatif tercatat di bank data PMI. Yang tercatat hanya mereka yang kebetulan telah menjalani pemeriksaan rhesus.

Seperti kita tahu, pada sistem A-B-O, darah terbagi menjadi empat golongan: A, B, AB, dan O. Pada sistem rhesus, golongan darah terbagi menjadi dua: rhesus positif dan negatif. Dua sistem penggolongan ini berbeda satu sama lain. Tapi dalam urusan donor darah, keduanya saling melengkapi. Jika dua sistem ini digabung, maka terdapat delapan macam golongan darah: A(+), A(-), B(+), B(-), AB(+), AB(-), O(+), dan O(-).

Rhesus sendiri sebenarnya protein yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Sistem penggolongan berdasarkan rhesus ditemukan oleh Landsteiner dan Wiener tahun 1940. Dinamai "rhesus" karena saat itu Landsteiner-Wiener melakukan riset menggunakan darah kera rhesus (Macaca mulatta), salah satu spesies kera yang banyak dijumpai di India dan Cina.

Makanya, mereka yang mempunyai faktor protein ini di dalam darahnya disebut berdarah rhesus positif. Sedangkan yang tidak memilikinya disebut berhesus negatif. Mirip pada sistem A-B-O, pada sistem rhesus juga terdapat aturan khusus dalam urusan sumbang-terima darah.

Pemilik darah rhesus negatif tidak boleh ditranfusi dengan darah rhesus positif. Jika dua jenis golongan darah ini saling bertemu, dipastikan akan terjadi "perang" di antara keduanya. Sistem pertahanan tubuh si reseptor (penerima donor) akan menganggap rhesus dari donor itu sebagai benda asing yang perlu dilawan, seperti melawan virus atau bakteri yang masuk ke tubuh.

Sebagai bentuk perlawanan, tubuh reseptor akan memproduksi antirhesus. Saat transfusi pertama, kadar antirhesus masih belum cukup tinggi sehingga relatif tak menimbulkan masalah serius. "Tapi pada tranfusi kedua, akibatnya bisa fatal," terang dr. Yuyun SM Soedarmono, M.Sc., Direktur Unit Tranfusi Darah Pusat PMI.

Saat tranfusi kedua, antirhesus mencapai kadar cukup tinggi. Antirhesus akan menyerang dan memecah sel-sel darah merah dari donor. Kondisi ini bukan hanya menyebabkan tujuan tranfusi darah tak tercapai, tapi juga malah memperparah kondisi si reseptor sendiri. Ginjalnya harus bekerja keras mengeluarkan sisa pemecahan sel-sel darah merah itu.

Itu sebabnya, pemilik rhesus negatif tidak boleh menerima donor darah rhesus positif, sekalipun berdasarkan sistem A-B-O golongan darahnya sama. Aturan ini tetap berlaku meskipun pendonor adalah keluarga dekat atau bahkan anak, yang notabene darah-dagingnya sendiri.

Namun, aturan itu hanya berlaku satu arah. Pemilik darah rhesus positif bisa menerima donor, baik dari sesama pemilik darah rhesus positif maupun dari yang negatif. Hal ini karena darah rhesus negatif tidak mengandung "benda asing" yang bisa disangka sebagai musuh yang dapat memicu timbulnya antirhesus.

Selain itu Urusan rhesus darah tak hanya penting saat proses tranfusi darah. Faktor ini juga perlu diketahui oleh para ibu hamil. Terutama jika ia berdarah rhesus negatif, sementara suaminya berdarah rhesus positif. Masalah ini biasanya terjadi pada perkawinan atarbangsa. Secara genetik, rhesus positif dominan terhadap rhesus negatif. Anak dari pasangan beda rhesus punya kemungkinan 50 - 100% berhesus positif. Kemungkinan berhesus negatif hanya 0 - 50%. Artinya, rhesus si anak lebih mungkin berbeda dengan si ibu.

Jika tidak tepat ditangani, perbedaan rhesus antara calon bayi dengan ibu ini bakal menimbulkan masalah. Lewat plasenta, rhesus darah janin akan masuk ke peredaran darah si ibu. Selanjutnya, ini akan menyebabkan tubuh si ibu memproduksi antirhesus. Lewat plasenta juga, antirhesus ini akan melakukan serangan balik ke dalam peredaran darah si calon bayi. Sel-sel darah merah si calon orok akan dihancurkan.

Pada kehamilan pertama, antirhesus mungkin hanya akan menyebabkan si bayi lahir kuning (karena proses pemecahan sel darah merah menghasilkan bilirubin yang menyebabkan warna kuning pada kulit). Tapi pada kehamilan kedua, problemnya bisa menjadi fatal jika anak kedua juga memiliki rhesus positif. Saat itu, kadar antirhesus ibu sedemikian tinggi, sehingga daya rusaknya terhadap sel darah merah bayi juga hebat. Ini bisa menyebabkan janin mengalami keguguran.

Jika sebelum hamil si ibu sudah mengetahui rhesus darahnya, masalah keguguran ini bisa dihindari. Sesudah melahirkan anak pertama, dan selama kehamilan berikutnya, dokter akan memberikan obat khusus untuk menetralkan antirhesus darah si ibu. Dengan terapi ini, anak kedua bisa diselamatkan.
dikutip dari majalah INTISARI No. 519 TH. XLIII
OKTOBER 2006

Tidak ada komentar: